Selamat Datang di Kerajaan Aceh Darussalam


Kamis, 25 Februari 2010

Duka Puteri Indra Bagsa

Suasana Kutaraja begitu sunyi pagi ini. Tak ada hiruk pikuk para pedagang yang menggelar barang dagangannya di pasar. Tak ada para budak yang menuntun kuda-kuda majikannya. Tak ada suara meriam yang biasanya diletuskan setiap pagi. Yang terdengar hanya suara adzan Subuh yang menggema ke seluruh pelosok kota. Sesekali para penjaga melakukan patroli di atas kuda-kuda hitam mereka. Kutaraja bak kota mati pagi ini.

Kutaraja adalah ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam. Letaknya berada hampir di paling ujung terbarat Pulau Sumatera. Kerajaan Aceh adalah gerbang utama menuju Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan laut yang sangat ramai dilewati kapal-kapal dari berbagai bangsa. Karena itulah tak heran banyak sekali pedagang-pedagang asing maupun para penjelajah yang singgah di Aceh. Beberapa dari mereka bahkan ada yang secara khusus diutus oleh raja-raja mereka untuk menjalin persahabatan dengan Kerajaan Aceh, agar kegiatan perdagangan mereka menjadi semakin lancar. Selain itu, keperkasaan armada perang Aceh juga amat tersohor. Sehingga Aceh menjadi semakin disegani.

Pada hari-hari biasanya kehidupan Kutaraja dimulai menjelang subuh tiba. Pusat kota yang merupakan hamparan lapangan luas biasanya sudah ramai dipenuhi para pedagang dari berbagai penjuru negeri. Pasar itu menyediakan banyak sekali jenis barang kebutuhan masyarakat kota itu. Dari beras yang didatangkan dari Champa, sutra-sutra indah dari Tiongkok, dupa-dupa wangi dari India, hingga kebutuhan sehari-hari seperti daging, sayur-mayur dan buah-buahan. Di sekeliling lapangan itu, berjajar para tukang emas yang menjual berbagai jenis perhiasan yang bagus mutunya.
Satu-satunya jalan menuju pusat kota dari pelabuhan letaknya di selatan. Jalanan itu luas, dan selalu ramai. Sedari pagi biasanya banyak kuda-kuda, gajah-gajah serta budak-budak yang sibuk mengangkut barang-barang yang baru saja diturunkan dari kapal.


Di sebelah timur pusat kota itu terdapat sebuah Masjid yang berbentuk persegi empat. Dindingnya dari kayu yang diukir sedemikian rupa dan dicat dengan berbagai warna sehingga menarik sekali kelihatannya. Atapnya bertingkat tiga dari tembaga yang dibuat seperti sisik naga. Bagian puncaknya tinggi menjulang dibuat dari perak yang berkilauan jike terkena sinar matahari.

Rumah-rumah penduduknya menyebar di sekeliling kota, terbagi-bagi dalam beberapa perkampungan yang dinamai sesuai dengan bangsa bangsa yang menetap di dalamnya. Seperti Kampung Cina, Kampung Arab dan Kampung Jawa. Di antara rumah-rumah itu terdapat pula rumah-rumah besar yang indah. Tanahnya luas dan memiliki beberapa bangunan di dalamnya. Umumnya rumah besar ini dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi yang dicat putih, dan memiliki gerbang yang bagus. Di rumah-rumah besar inilah para pembesar, orang-orang elite negeri ini tinggal bersama keluarga dan sekumpulan besar budak-budak mereka.

Sementara itu Istana Sultan yang dinamai Istana Darud Dunia merupakan bangunan terbaik di negeri itu. Letaknya di sebelah barat pusat kota, di tepi sungai besar bernama Krueng Aceh. Dari kota, istana itu dibatasi oleh parit-parit lebar serta rimbunan pohon bamboo hijau yang sangat rapat dan berfungsi sebagai pagar. Gerbang utamanya terbuat dari tembok yang tinggi bukan kepalang dihiasi keramik-keramik dari Cina. Pintunya dari kayu yang dicat emas dengan gagang pintu dari kuningan berukir. Di depan gerbang itu diletakan empat buah meriam yang diperoleh dari Istambul. Meriam-meriam ini diletuskan setiap pagi, sebagai pertanda dimulainya hari baru.

Namun sudah satu minggu ini keadaan Kutaraja sangat berbeda. Tak ada keramaian di pusat kota. Hanya beberapa kedai saja yang buka. Tak ada suara riuh dari rumah-rumah para pembesar. Dan tak ada kesibukan di jalan-jalan menuju kota. Para pedagang asing pun lebih memilih tinggal di dalam rumahnya masing-masing atau menetap di atas kapal-kapal mereka.

Kesunyian juga menembus tebalnya pepohonan bamboo yang memagari Istana. Pelataran Istana yang disebut Medan Khayali biasanya ramai dipenuhi para tamu yang hendak menghadap serta para pelayan yang melayani mereka. Lebih dalam lagi, di sebuah pelataran bernama Medan Khairani, tempat puluhan bangunan kerajaan berdiri, juga tak kalah sepinya. Pintu Bale Rong Seri Indra Kahyangan dan ruang-ruang lainnya tertutup rapat. Hanya para pengawal yang secara bergantian berjaga-jaga didepannya. Suasana istana betul-betul sepi, hening, seakan-akan tak berpenghuni.

Tetapi di bagian terdalam istana, tempat Kerabat Diraja tinggal, keheningan itu terasa begitu mencekam. Tempat teraman di seluruh penjuru negeri seakan telah berubah menjadi kuburan yang begitu kelam. Biasanya pada jam seperti ini, para dayang telah sibuk mempersiapkan sarapan bagi para majikan mereka. Memanaskan air dan wewangian untuk majikan mereka mandi. Pakaian serta perhiasaan yang akan dipakaikan kepada majikannya untuk hari itu. namun hari itu tak seorang dayang pun terlihat, bahkan suara mereka pun nyaris tak terdengar. Yang ada hanya ratapan seorang wanita yang dapat menyayat-nyayat hati siapa saja yang mendengarnya.

Wanita yang berduka itu bernama Puteri Raja Indra Bangsa, puteri satu-satunya dari Sultan Alaudin Ri’ayat Syah, sultan Aceh yang sekarang. Usianya baru 25 tahun tetapi ia telah menjanda. Mendiang suaminya adalah, Raja Mansur Syah, putra Sultan Abdul Jalil, Raja Darul Kamal. Mansur mangkat tertembak saat pasukan kerajaan yang dipimpinnya, menaklukan Ghuri yang memberontak. Dari pernikahan seumur jagungnya ini, Puteri Indra Bangsa dikaruniai seorang putra bernama Dharmawangsa.

Pagi itu sang Puteri duduk termangu di beranda kamarnya yang megah, duduk terdiam memandang jauh kesebrang Krueng Aceh. Tetapi pandangan itu kosong. Pikirannya mungkin sedang berjalan melang-lang buana di alam khayal, berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus mengusiknya. Telah berkali-kali ia memanggil orang-orang sakti, bahkan ulama untuk mencari jawaban itu. Namun mereka hanya bisa menjawab bahwa itu semua takdir dan kehendak Allah Ta’ala. Tetapi jawaban itu tidak memuaskannya. Ia sadar betul bahwa maut menjemput tanpa kenal waktu dan tempat. Malaikat Pencabut Nyawa bisa datang tanpa perlu diundang. Walaupun begitu, Puteri Indra Bangsa terus bertanya, mengapa begitu cepat Allah memanggil suaminya pulang? Itu saja yang digumamkan sang Puteri selama hampir satu minggu terakhir ini.

Para dayang-dayangnya duduk bersimpuh mengelilingi sang Puteri dengan patuh. Mereka rata-rata berusia 40 tahunan atau lebih. Semuanya memakai baju serba hitam dengan kerudung panjang hitam pula. Seperti majikannya, tak banyak kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Tetapi mereka tetap mengerjakan tugas mereka masing-masing disekitar sang Puteri. Salah seorang dari mereka tanpa henti terus mengipasi Puteri Indra Bangsa dengan kipas dari bulu merak. Seorang lainnya sibuk memotong daun sirih dan pinang kemudian disusun di puan sirih sang Puteri yang terbuat dari emas. Salah seorang lainnya memijiti kakinya yang kelelahan. Seorang lagi baru tiba dari luar kamar membawa dalung kuningan berisi makanan untuk sang Puteri.

“Tuan Puteri, hamba membawakan makanan-makanan kesukaan tuan Puteri. Makanlah barang sesuap. Sudah beberapa hari tuan Puteri tidak mau makan. Hamba khawatir tuan Puteri akan sakit.” Ujar salah satu dayangnya memelas.

Namun Puteri itu bergeming. Digesernya dalung itu menjauh dari tempatnya duduk.

“Aku tidak berselera.” Katanya singkat.

Para dayangnya Nampak sangat kebingungan. Mereka saling melempar pandangan.

“Mungkin tuan Puteri tidak suka dengan masakanmu. Apakah tuan Puteri ingin makan daging rusa? Biar hamba segera pergi memasaknya untuk tuan Puteri.” Kata seorang dayang yang tadi sibuk menata sirih pinang.

Sang Puteri menggeleng.

“Tidak. Aku tidak ingin makan apa pun.” Jawabnya lagi.

Puteri Indra Bangsa kembali kedalam lamunannya. Pikirannya melayang jauh meninggalkan raganya bersama dayang-dayangnya yang kebingungan. Masih teringat dengan jelas di benaknya ketika utusan Raja Abdul Jalil dari Darul Kamal datang meminangnya 7 tahun silam. Betapa bahagia hatinya kala itu. Ketampanan dan kewibawaan Raja Mansur Syah, putra Raja Abdul Jalil yang akan dinikahkan dengannya sudah tersohor kemana-mana. Mansur Syah terkenal pula dengan kesantunannya dan kecerdasaannya, serta kepiawaiannya dalam seni berperang. Meski usianya masih sangat muda, 21 tahun waktu itu, ia telah dipercaya untuk memimpin berbagai ekspedisi dan pertempuran ke seluruh penjuru negeri.

Pernikahan agung antara dua anak raja itu dilangsungkan dengan megah meriah. Berminggu-minggu lamanya peryaan dan pesta-pesta digelar baik di Istana Darul Kamal, maupun di Istana Makota Alam, kediaman Puteri Indra Bangsa. Rakyat pun ikut bergembira atas pernikahan itu. Karena pernikahan itu akan menyatukan dua mahkota yang sebelumnya selalu bersaing untuk menjadi Sultan Aceh, sehingga kericuhan mengenai tahta akan dapat terhindarkan. Puteri Indra Bangsa dan Raja Mansur Syah betul-betul pasangan yang sepadan.

Keluarga muda ini hidup dengan bahagia di Istana Makota Alam bersama ayah sang Puteri, Raja Alaudin. Hanya selang beberapa bulan lamanya, sang Puteri pun mengandung. Berita menggembirakan ini segera tersebar keseluruh pelosok negeri. Para bangsawan yang bergelar Orang Kaya dari seluruh negeri berdatangan membawakan berbagai hadiah bagi jabang bayi itu.

Raja Alaudin memanggil seorang ahli nujum dari Persia untuk meramalkan nasib cucunya itu. Betapa gembira hati sang Raja tua itu mendengar perkataan ahli nujum itu.

“Suatu hari, cucu Tuanku ini, akan menjadi yang terbesar diantara yang besar. Yang termulia diantara yang paling mulia. Dia akan dihormati rakyatnya dan ditakuti musuh-musuhnya. Sesungguhnya Allah telah mengaruniai cucu Tuanku ini dengan kemuliaan yang tidak ada bandingannya. Belum pernah kita melihat yang seperti ini dan tidak akan pernah lagi kita lihat yang seperti ini.”

Sang ahli nujum dihadiahi dengan banyak sekali kain-kain sutra yang bagus, perhiasan emas dan juga sejumlah besar hewan ternak. Kegembiraan sang raja juga turut dirasakan oleh rakyatnya yang berpesta berhari-hari demi merayakan ramalan sang ahli nujum. Raja Alaudin pun memberitahukan perihal yang menggembirakan ini kepada besannya Raja Abdul Jalil serta seluruh bangsawan di negeri itu.

Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan terlewati. Puteri Indra Bangsa ingat betul betapa dirinya, suaminya dan seluruh kerabatnya dengan tak sabar menantikan kelahiran sang buah hati. Pada malam ke 26 bulan Desember tahun 1586, seluruh penghuni Istana Makota Alam berkumpul di depan kamar sang Puteri. Ibundanya, Raja Permaisuri Keumala Cahya ikut masuk ke kamar itu bersama sepuluh orang bidan terbaik yang dikirim oleh sepuluh orang raja di negeri itu.

Jeritan Puteri Indra Bangsa terpantul menggema ke seluruh penjuru istana. Menjelang tengah malam, Raja Abdul Jalil, Raja Permaisuri Seri Ratna, serta kerabat Darul Kamal tiba dengan terburu-buru tanpa sebuah iring-iringan besar. Setelah bertukar salam dengan Raja Alaudin, Raja Permaisuri Seri Ratna masuk ke kamar Puteri Indra Bangsa bergabung bersama besannya. Sementara kedua Raja tua, Raja Munawar dan kerabat mereka yang lain menanti dengan cemas di depan kamar.

Suasana istana sangat sibuk. Para ulama melantunkan do’a-do’a tanpa henti. Para dayang sibuk keluar masuk kamar membawakan berbagai perlengkapan. Air hangat, kain, dan lain sebagainya. Raja Mansur Syah tak bisa tenang. Ia berjalan bolak-balik. Meskipun mertua dan ayahnya menyuruhnya duduk, namun hatinya begitu gundah. Ia tak sabar menantikan kelahiran putra pertamanya, sekaligus khawatir akan keselamatan istrinya.

Di dalam kamar pun suasana tak kalah sibuk. Sepuluh orang bidan, secara bergantian membantu sang Puteri untuk melahirkan putranya. Namun setelah berjam-jam berlalu, sang bayi belum juga mau keluar. Puteri Indra Bangsa telah basah kuyup oleh keringat. Tangannya memegang erat kain-kain sutra yang dipasang di atas tempat tidurnya. Kedua Permaisuri berdiri di samping kanan kiri sang Puteri. Terkadang mereka menyapu keringat pada dahi sang Puteri, sementara yang lain membacakan do’a-do’a di telinganya.

Kira-kira menjelang Dzuhur keesokan harinya, suara tangis seorang bayi membuat semua orang terdiam. Hening, menantikan dengan cemas.

“Seorang putra! Seorang putra! Tuan Puteri melahirkan seorang putra!” kata salah seorang bidan.

“Alhamdulillah. Apakah semuanya sehat dan baik-baik saja, bidan?” Tanya Permaisuri Keumala Cahya cemas.

“Berkat karunia Allah Ta’ala, Tuanku, bayinya sehat, ibunya pun sehat.”

Semua yang hadir di kamar itu bersyukur dan memuji nama Allah. Kemudian Permaisuri Keumala Cahya mengambil bayi laki-laki cucu pertamanya yang terbalut kain sutera berwarna kuning. Dibawanya bayi itu kepada ibunya yang kelelahan.

“Duhai Puteriku sayang, lihatlah, putramu begitu tampan seperti ayahnya.” Kata sang permaisuri.

Puteri Indra Bangsa belum memiliki tenaga untuk menggendong putranya. Namun ia tersenyum, kemudian menggumamkan rasa syukurnya dengan suara nyaris tak terdengar.

“Adiku Keumala Cahya, mari kita bawa cucu kita kepada ayah dan kakeknya. Agar mereka tenang. Sedari tadi mereka sangat cemas. Sungguh kasihan. Seperti orang linglung.” Ujar Permaisuri Seri Ratna diikuti tawa kecil.

Permaisuri Keumala Cahya tertawa.

“Dang Lela.” Permaisuri memanggil salah seorang dayangnya.

“Daulat Tuanku Permaisuri.” Seorang wanita paruh baya datang memenuhi panggilan.

“Sampaikan titahku. Berikan kesepuluh bidan ini masing-masing sepuluh gulung kain, sepuluh kantong emas, dan sepuluh ekor sapi. Perintahkan para tabib untuk segera merawat Puteri Indra Bangsa.”

“Hamba laksanakan titah Tuanku.” Jawab dayang itu seraya pergi.

Kedua permaisuri berjalan beriringan menuju pintu kamar itu. Semua orang yang ada di balik pintu terdiam dengan tegang ketika pintu kamar itu terbuka. Mansur, Raja Alaudin dan Raja Abdul Jalil yang telah menanti sedari malam segera menghampiri kedua permaisuri yang baru saja muncul dari balik pintu.

“Anaku Mansur, bersyukurlah pada Allah Ta’ala yang telah mengaruniakan seorang putra pewarismu.” Kata Permaisuri Seri Ratna dengan senyum lembut.

“Putra? Aku memiliki seorang putra? Alhamdulillah…” Ujar Mansur Syah dengan sangat gembira.

Mereka yang hadir pun mengucap syukur.

“Maha Suci Allah yang telah mengaruniai kita dengan seorang anak lelaki.” Kata Raja Abdul Jalil sambil memandang cucunya yang kini berada ditangan Mansur.

Air mata Mansur tidak terhankan lagi. Ia mencium putranya yang langsung menangis karena terkena kumis Mansur yang tebal. Semua orang tertawa melihat hal itu. Raja Alaudin kemudian mengambil bayi itu. Seketika itu pun bayi lelaki itu berhenti menangis. Diangkatnya bayi itu agak tinggi. Kemudian ia mengumandangkan Adzan pada telinga kanan sang bayi, dilanjutkan dengan Qamat pada telingga kanan. Selanjutnya Raja Alaudin menuliskan nama Allah pada kening, dan dada sang bayi dengan jari telunjuk kanannya.

“Semoga Allah Ta’aala senantiasa membimbingmu, melindungi langkahmu dan selalu besertamu.”

“Mansur, pergi dan lihatlah istrimu. Ia pasti telah menantikanmu.” Kata Permaisuri Keumala Cahya.

Mansur mengangguk, dan segera masuk ke kamar istrinya. Dilihatnya sang istri tengah lemah di atas tempat tidurnya. Mansuk duduk disamping kepala sang istri. Digenggamnya tangan Puteri Indra Bangsa.

“A..abang..ta.. apa..kah, abang..ta su..dah meli..hat pu..tra ki..kita??” Tanya Puteri Indra Bangsa terbata-bata.

“Sudah.. sudah dinda. Dia sangat tampan. Matanya, persis matamu.”

Sang Puteri Nampak ingin berbicara, namun dihentikan oleh Mansur.

“Sttt…” Ucapnya sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir istrinya. “Kau istirahatlah. Jangan habiskan tenagamu. Ingat, kau harus sehat. Kau harus segera pulih.”

Mansur membelai kepala Puteri Indra Bangsa, menemaninya sampai istirnya itu tertidur dengan pulas. Diambilnya sebuah kipas bulu merak, dan dikipasinya istirinya agar tak kepanasan. Namun karena rasa letih yang luar biasa akibat semalam suntuk tidak tidur, Mansur akhirnya ikut tertidur sembari bersandar di kepala tempat tidur kayu itu. Tanggan kanannya menggenggam tangan sang Puteri, sementara tangan kirinya terkulai sehingga kipas merak itu pun terjatuh.

Tujuh hari telah berlalu. Seluruh penghuni istana kini sedang bersiap-siap. Para bujang telah mendirikan bale-bale di halaman istana. Digelar oleh mereka karpet-karpet indah di atas bale-bale itu. Kemudian diletakan bantal-bantal besar yang disulam dengan benang emas dan perak. Sebuah bale yang lebih besar dari bale lainnya diletakan di sisi barat halaman Istana. Bale itu dihiasi dengan permadani Turki yang sangat indah, dihiasi dengan bunga-bungaan dan bantal-bantal yang juga sangat indah.
Para pelayan juga telah menyembelih seratus ekor kerbau, dan domba untuk dimasak bagi para tamu yang akan datang hari ini. Makanan itu diletakan di atas mangkuk-mangkuk perak, dan ditaruh di atas dalung-dalung kuningan yang ditutup dengan kain kasab berwarna kuning. Setelah siap, dibawa oleh dayang-dayang ke bale-bale yang telah disiapkan.

Hari itu, sesuai dengan tradisi kerajaan, putra Mansur dan Puteri Indra Bangsa akan diberi nama dihadapan para bangsawan, serta tamu-tamu undangan lain dari seluruh negeri.

Menjelang waktu Duha, para tamu tersebut mulai berdatangan. Mereka memakai pakaian yang indah-indah dengan perhiasan yang berkilauan. Lalu tibalah Mufty Besar Kerajaan yang akan memimpin upacara ini. Ia mengenakan jubah serba putih, dengan sorban putih yang dihiasi oleh mutiara dan sehelai bulu angsa. Semua orang, rakyat jelata, bangsawan, sangat menaruh hormat kepadanya.

Tepat pukul 9.30 pagi, Raja Alaudin didampingi Raja Abdul Jalil besannya, keluar dari istana dengan dipayungi dengan Payong Keumangan. Kedua permaisuri juga berjalan dibawah Payong Keumangan lainnya, bersama-sama mengikuti suami-suami mereka. Setelah mereka, Raja Mansur Syah dan Puteri Raja Indra Bangsa yang menggendong putra semata wayang mereka berjalan dengan dipayungi dengan Payong Ubo-Ubo berwarna merah. Mereka menaiki bale yang paling indah tadi. Dan acarapun dimulai.

Mula-mula Raja Alaudin berdiri. Dihadapan seluruh undangan ia mulai berkata,

“Wahai rakyat Darul Kamal. Dengan mengucap syukur kehadirat Allah ta’ala, aku umumkan kepada kalian bahwasanya Puteriku Indra Bangsa telah melahirkan seorang putra. Dan pada hari ini, kunamai ia Raja Zainal bergelar Tun Pangkat Dharmawangsa. Semoga Allah senantiasa melindungi dan mengiringi langkahnya.”

Para tamu undangan pun riuh rendah dengan gembira. Para dayang kemudian mengantarkan hidangan-hidangan lezat yang telah disiapkan. Berbagai tari-tarian diiringi alunan musik ditampilkan untuk menghibur para tamu yang datang dari segala penjuru. Pesta itu berlangsung semalaman. Sementara di luar istana seluruh rakyat juga ikut berpesta dan bersukacita atas kelahiran cucu raja mereka.


Puteri Indra Bangsa masih duduk terdiam di atas kursinya, ketika seorang anak laki-laki berlari membuyarkan lamunannya.

“Ibunda, mengapa ibunda menangis?” Tanya Dharmawangsa yang kini telah berusia tujuh tahun.

Puteri Indra Bangsa buru-buru menghapus air mata yang membasahi wajah cantiknya dengan kerudung hitam yang terjuntai dari atas kepalanya. Ia memaksakan dirinya tersenyum dihadapan putra semata wayangnya.

“Bunda tidak menangis, anaku Dharmawangsa. Bunda hanya…” sang Puteri tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia kembali menangis.

“Apakah bunda teringat ayahanda, makanya bunda terus menangis?” Tanya bocah itu sambil menghapus air mata ibunya dengan kedua tangan kecilnya.

Sang Puteri hanya mengangguk.

“Apalah yang bunda tangisi? Sesungguhnya aku berbangga hati ayahandaku syahid di Ghuri. Ayah syahid sebagai pahlawan. Aku ingin seperti ayah.” Dharmawangsa diam sebentar. “Aku tau, kita tidak dapat bertemu dengannya lagi. Aku pun amat merindukan ayah. Tetapi, aku yakin bahwa ayah tidak benar-benar pergi. Ia akan terus berada disini.” Kata Dharmawangsa sambil meletakan tangannya di dadanya, dan dada ibunya.

Sang Puteri memegang tangan Dharmawangsa dan menciumnya. Digendongnya anak itu dan didudukan di atas pangkuannya.

Puteri Indra Bangsa memeluk erat buah hatinya itu.
“Bunda, jangan bersedih lagi ya. Bunda tidak perlu takut apa-apa. Aku akan menggantikan ayah menjaga bunda. Siapa pun yang ingin menyakitimu, akan aku lawan sampai titik darah penghabisan. Aku juga akan menjaga kakek dan nenek, seperti ayah menjaga mereka. Suatu hari aku ingin menjadi seperti ayahku, Mansur Syah yang gagah berani.” Kata Dharmawangsa tenang.

Mendengar ucapan anak kecil itu Puteri Indra Bangsa amat tersentuh. Tetapi ia tak kuasa menahan air matanya. Kesedihannya ditinggal mati lelaki yang amat dicintainya, bercampur dengan rasa haru dan bangga memiliki putra seperti Dharmawangsa.

“Abangta…. Lihatlah. Seandainya kau ada disini… aku tau, kau akan sama bangganya atas Dharmawangsa. Akan kujaga selalu peninggalanmu yang paling berharga ini, wahai kekasihku. Akan kujaga ia, sampai kau datang kembali menjemputku. Membawaku pergi, terbang dan menari-nari, ke atas sana. Tempat dimana kau dan aku akan bersama lagi. Selamanya…. Ya Allah. Kutitipkan padamu kekasihku. Kasihi dia Ya Allah, seperti ia mengasihiku….” Ujar Puteri Indra Bangsa dalam hati. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar