Selamat Datang di Kerajaan Aceh Darussalam


Jumat, 26 Februari 2010

Tun Pangkat Perkasa Alam


“Kapten… kapten… ada kapal yang mendekat….” Teriak seorang anak buah kapal besar itu dari atas tempatnya mengintai.
Di bawahnya, sang kapten kapal berlari bersama seorang rekannya menuju geladak kapal yang terujung. Diambilnya teropong panjang dari kuningan. Ia memandang kesekelilingnya. Ternyata betul, sebuah kapal kecil tengah mendekat. Samar-samar ia melihat isi kapal itu pastilah tak lebih dari tujuh orang. Satu orang di antaranya yang berpakaian paling indah tampak duduk di atas kursi di tengah geladak kapal itu. Ia memangku sebilah pedang yang berkilauan. Disekelilingnya tampak dua orang penjaganya. Yang satu memayunginya, dan yang seorang memegang tombak panjang.
“Panggil, Francis.” Perintah sang kapten.
Tak berapa lama seorang pria bertubuh tinggi besar menghampiri sang kapten. Tanpa bicara, kapten kapal itu memberikan teropongnya. Francis pun mengamati kapal yang terus berlayar semakin dekat.
“Siapa itu?” Tanya sang kapten. “Apakah itu Raja negeri ini?”
Francis menggeleng.
“Bukan Kapten. Itu adalah Syahbandar Kuala Aceh.” Jelasnya sambil mengembalikan teropong itu.
“Siapa itu? Apa yang dia inginkan mendekat kemari?”
“Dia adalah orang yang bertanggung jawab di pelabuhan ini. Dia kemari untuk memeriksa isi kapal, dan hadiah yang akan diberikan kepada Sultan.” Jawab Francis.
Francis de Parma adalah seorang Portugis yang pernah menetap di Aceh bersama rombongan pedagang India yang ditemuinya di Goa. Ia hafal betul seluk beluk kota dan mahir berbicara bahasa Melayu.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Tidak ada kapten. Anda hanya perlu tersenyum ramah, persilahkan masuk seakan dia adalah raja. Kuingatkan pada anda kapten. Orang itu sangat berkuasa. Apakah kita bisa memasuki kota atau tidak, semuanya tergantung pada keputusannya. Sebaiknya perlakukan dia dengan sangat baik.” Francis menasehati.
Sang kapten mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia berdiri di anjungan, bersiap menyambut tamu istimewanya. Ia menyalakan sebatang cerutu yang ia beli waktu singgah di Goa. Tanpa butuh waktu lama, kapal Syahbandar semakin dekat, dekat dan akhirnya merapat. Para pengawal membantu lelaki itu naik ke atas kapal yang lebih besar.
Ia tidak berbicara apa-apa untuk beberapa saat. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling kapal itu. Memperhatikan satu persatu anak buah kapalnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu ia berbicara,
“Mana Kapten kapal ini?”
Francis buru-buru menterjemahkannya, dan sang kapten maju kedepan. Atas saran Francis, kapten itu membungkuk, dan melepaskan topinya.
“Kau kaptennya? Tanya Syahbandar lagi.
“Betul Tuan.”
“Siapa namamu?”
“Nama saya Don Thomas, dan ini wakil saya Don Davis.” Davis maju dan menghormat dengan cara yang sama.
“Darimana kalian berasal?”
“Kapi datang jauh sekali Tuan. Dari sebuah negeri bernama Portugal.”
“Portugal? Dimana itu? Aku belum pernah dengar.” Ujar Syahbandar dengan pandangan curiga.
“Portugal letaknya di Eropa tuan. Dekat dengan Perancis dan juga Inggris.” Don Thomas berusaha menjelaskan.
Syahbandar diam saja. Ia berjalan mengelilingi geladak itu.
“Apa maksudmu datang ke kerajaan ini?”
“Kami membawa surat dari Raja Portugal untuk saudaranya Raja negeri ini.” Don Thomas memerintahkan seorang anak buahnya membawakan surat yang diletakan di atas sebuah kotak kayu berhias itu.
Syahbandar mengamati surat itu, tetapi tidak membukanya.
“Apa kau membawa hadiah bagi Baginda Sultan kami?”
“Tentu saja tuan. Kami membawa banyak hadiah yang indah-indah bagi Baginda.”
Syahbandar kemudian menyuruh pengawalnya mencatat semua hadiah yang akan dibawa kehadapan Sultan.
“Baiklah, besok pagi akan diadakan Majelis Penghadapan Ulee Balang. Aku akan masuk Istana besok. Bila Baginda berkenan, aku akan datang lagi menjemputmu. Tetapi bila tidak, angkat sauhmu dan pergilah berlayar lagi.” Kata Syahbandar yang kemudian kembali ke atas kapalnya sendiri, berlayar meninggalkan kapal Portugis itu.
***
Hari itu sama seperti hari-hari lainnya di Kutaraja. Hiruk pikuk para penghuni kota dengan berbagai kegiatannya masing-masing sudah terlihat sejak subuh. Para pedagang sudah membuka toko mereka dan menjajakan barang dagangannya. Para budak-budak mulai memenuhi pasar untuk membeli kebutuhan bagi tuan-tuan mereka. Tepat pukul enam pagi, terdengar suara dentuman meriam yang berasal dari depan pintu Istana. Sultan memang memerintahkan para pengawal untuk meletuskan meriam setiap pagi, sebagai penanda hari baru telah tiba.
Bersamaan dengan dentuman meriam yang amat nyaring itu, pintu rumah-rumah besar di sekeliling kota mulai dibuka. Satu persatu penghuninya keluar diiringi sejumlah besar budak, pelayan, dan pengawal mereka, yang berjalan mengelilingi tuan mereka, membawa berbagai keperluannya. Kain beberapa gulung, puan sirih, payung, pedang dan lain sebagainya. Sementara majikan mereka adalah para tuan besar yang disebut Orang Kaya. Mereka inilah para Ulee Balang yang bertanggung jawab atas sejumlah wilayah di seluruh penjuru negeri. Namun atas perintah Sultan Alaudin Ri’ayat Syah, para Ulee Balang ini diwajibkan untuk tinggal di dalam Kutaraja, agar mudah diawasi.
Para Ulee Balang itu menaiki kuda-kuda mereka yang indah. Kebanyakan berasal dari Persia. Pakaian mereka indah dan dihiasi berbagai macam perhiasan. Kain-kainnya bagus dengan berbagai warna yang berkilauan. Begitu pula dengan penutup kepala mereka. Ada yang dihiasi dengan mutiara, batu rubi, safir, dan lain sebagainya.
Meskipun semenjak Sultan Alaudin naik tahta kekuasaan mereka telah dibatasi, namun para Orang Kaya ini tetaplah warga kelas satu yang memiliki segala-galanya. Tanah mereka luas, budaknya banyak. Beberapa dari mereka yang memegang kedudukan penting, bahkan memiliki budak hingga ratusan orang. Seperti lazimnya di negeri itu, mereka juga umumnya memiliki banyak istri. Namun hanya beberapa saja yang dianggap sebagai istri sah mereka, yang sesekali masuk istana bersama mereka memenuhi panggilan permaisuri.
Setiap hari Sabtu pada awal dan akhir bulan, Sultan memerintahkan para Ulee Balang ini masuk istana untuk memberikan laporan mengenai apa-apa yang terjadi di daerah kekuasaan mereka. Para Ulee Balang ini begitu takutnya terhadap Sultan tua ini. Mereka masih ingat betul ketika banyak dari mereka yang diundang dalam jamuan makan malam ke Istana, namun tidak pernah keluar lagi. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada mereka, dan tidak ada yang berani bertanya. Yang jelas, cara itu sangat efektif untuk memperingatkan para Ulee Balang yang lain untuk patuh dan tunduk terhadap Baginda Sultan.
Iring-iringan para Ulee Balang ini selalu menarik perhatian rakyat banyak. Mereka berkerumun, berdesakan untuk menyaksikan para Orang Kaya ini lewat seperti parade. Terkadang beberapa orang budak yang diperintahkan oleh majikannya, menyebar potongan lempengan emas tipis ke kerumunan orang. Sontak mereka berebut untuk mengumpulkan emas-emas itu. Para Orang Kaya ini gemar memamerkan kekayaan mereka, baik kepada rakyat maupun kepada sesama mereka.
Setibanya mereka di gerbang Istana, mereka menuruni kuda-kuda mereka yang segera dibawa oleh salah satu budak ke kandang kuda kerajaan. Lalu mereka meninggalkan budak-budak mereka di depan gerbang. Hanya satu orang saja yang mengikutinya sambil membawa beberapa gulung kain yang tinggi nilainya. Sudah menjadi tradisi di negeri itu, sebagai rasa penghormatan kepada Sultan, para Ulee Balang mempersembahkan kain-kain indah itu setiap Majelis Penghadapan Resmi. Inilah yang membuat para tukang kain berlomba-lomba menciptakan motif-motif baru dari bahan-bahan terbaik. Karena bila mana kain mereka dipakai oleh Baginda, maka banyak orang yang akan memesan kain padanya.
Begitu memasuki gerbang istana yang dibuat dari batu bercat putih yang dihiasi keramik dari Cina, mereka menuju sebuah ruangan bernama Bale Peudang, tempat dimana mereka harus meletakan senjata yang mereka bawa. Kemudian mereka menuju Medan Khayali, sebuah pelataran sangat luas yang dihiasi berbagai jenis bunga-bungaan. Luas Medan Khayali itu dapat menampung kira-kira 4000 orang pasukan atau 300 ekor gajah perang yang besar-besar.
Di sana mereka menunggu ketibaan para Ulee Balang lainnya, sembari menunggu untuk dipersilahkan masuk ke Medan Khairani, pelataran dalam istana, tempat Bale Singgasana berada. Medan Khayali berkilauan bermandikan cahaya yang dipantulkan oleh pakaian para Orang Kaya itu yang diterpa cahaya matahari.
Satu persatu Ulee Balang yang jumlahnya 101 orang itu akhirnya tiba juga di Medan Khayali. Pintu Medan Khairani pun terbuka. Seorang pria paruh baya dengan pakaian indah keluar dari pintu itu membawa sebuah pedang yang dipanggul di bahunya. Ia adalah Maharja Kun Diraja, kepala urusan rumah tangga Istana Darud Dunia.
“Titah perintah Kehadirat Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al-Qahar, Sultan Yang Dipertuan Kerajaan Aceh Darussalam.” Seru Maharaja Kun Diraja lantang.
Seluruh Ulee Balang itu segera terdiam. Dengan takzimnya menunduk ke arah Maharaja Kun Diraja yang membawa titah Sultan itu.
“Tuanku, atas Titah perintah Baginda kita, Tuanku diperkenankan untuk memasuki Medan Khairani untuk kemudian menghadap Baginda di Bale Singgasana.”
Satu persatu para Ulee Balang mengikuti Maharaja Kun Diraja yang memimpin mereka untuk masuk ke pelataran kedua bernama Medan Khairani.
Seperti medan khayali, medan khairani adalah sebuah pelataran yang luas. Walaupun tak seluas medan khayali. Untuk memasuki medan khairani, terdapat 4 buah pintu. Masing-masing dijaga secara ketat oleh pasukan kerajaan. Hanya orang yang telah mendapat mandat khusus yang boleh masuk ke Medan Khairani. Di sinilah terletak sebuah bagunan berbentuk bujur sangkar, beratap tingkap tempat Singgasana Kerajaan diletakan. Selain itu, terdapat pula bangunan-bangunan lain seperti Bale Ceuremin, Bale Gading, dan Bale Rekaan Cina serta taman-taman yang indah di sini.
Para Orang Kaya kemudian sekali lagi menunggu di depan pintu Bale Singgasana yang dibuat dari kayu jati berukir berlapis emas berpermata. Lalu satu persatu mereka dipersilahkan masuk bersama budaknya. Dimulai oleh tiga Orang Kaya yang paling utama, disusul oleh yang lainnya.
Ruangan itu bernama Bale Singgasana Seri Indera Kahyangan. Besarnya bukan kepalang. Seribu orang masuk sekaligus pun, belum mampu membuat ruangan itu penuh. Sekeliling ruangan itu dilapisi oleh kain damas berwarna emas. Di atas lantainya dibentang permadani-permadani Persia yang sangat indah. Tepat di tengah ruangan itu digantung sebuah lampu dari emas yang didapat dari utusan yang datang dari India. Di ujung ruangan terdapat sebuah panggung setinggi 2 kaki dari kayu yang berlapis dengan permadani Persia. Di atasnya singgasana kerajaan yang terbuat dari gading, dan kulit kura-kura yang dilapisi emas dan bertabur permata berbagai jenis di letakan. Dan kini, Sultan Alaudin Ri’ayat Syah bersemayam di atasnya.
Sultan Alaudin Ri’ayat Syah adalah Sultan Aceh yang ke 10. Ia telah berusia 70 tahun lebih ketika ditabalkan hampir 8 tahun lalu. Namun ia tetap Nampak sehat dan gagah. Guratan-guratan tua di wajahnya menampakan kebijaksanaan, tetapi pandangannya tajam, sehingga menggetarkan siapa pun yang menatapnya. Kumisnya yang tebal berwarna putih kontras dengan bibir dan giginya yang kemerahan akibat mengunyah sirih yang menjadi kebiasaan kaum ningrat negeri itu. Ia mengenakan pakaian hitam bersulam benang emas. Kancing-kancing bajunya juga dibuat dari emas dengan dihiasi permata. Kainnya indah tiada duanya. Tutup kepalanya bertabur batu rubi, safir, berlian dan yakut kuning. Ia membawa sebilah reuncong dari gading yang dilapisi emas dan permata, yang kilaunya luar biasa.
Kemudian para Orang Kaya itu satu persatu berjalan penuh takzim dan lalu duduk bersila sambil menyatukan kedua tangan mereka di atas kepala mereka. Begitulah cara mereka menyembah Sultan yang sudah tua itu. Setelah mereka melihat Sultan menganggukan kepalanya, mereka mengambil kain dari tangan budaknya, dan berjalan dengan lututnya mendekat ke singgasana sambil mempersembahkan kain yang mereka bawa. Salah seorang pesuruh Sultan menerima kain itu, diperlihatkan sebentar kepada Sultan, lalu disimpan di belakang singgasana. Setelah itu, Orang Kaya tersebut mundur dan kembali duduk di tempat yang telah disediakan.
Ketika para Orang Kaya selesai mempersembahkan hadiah yang mereka bawa, kemudian enam orang dayang masuk ke ruangan membawa enam buah dalung dari kuningan yang masing-masing berisi enam jenis makanan di dalam mangkuk-mangkuk emas. Keenam dalung itu diletakan di hadapan Sultan, dan ia pun makanlah. Tidak semua makanan yang banyak itu disentuh oleh Sultan. Sementara Sultan makan, para Orang Kaya-nya diam saja. Tidak berbicara, menunduk, dan menunggu sampai Sultan selesai makan. Sisa makanan Sultan itu kemudian dibagikan kepada para Orang Kaya yang disukai Sultan. Hal ini dianggap sebuah kehormatan besar bagi mereka yang menerimanya.
Kemudian, Sultan tua itu mulai bicara,
“Tuan-Tuan sekalian. Sudah satu bulan lamanya semenjak tuan-tuan kemari. Adakah berita yang hendak tuan-tuan sampaikan padaku?” Katanya sambil memperhatikan seluruh Ulee Balang-nya.
Lalu Syahbandar Kuala Aceh maju dan berkata,
“Ampun beribu ampun sembah patik mohon diampun, patik membawa kabar yang datangnya dari pelabuhan Baginda di Kuala Aceh.”
“Katakanlah, Syahbandar.”
“Ampun Baginda, telah merapat di pelabuhan Baginda itu empat buah kapal dari sebuah negeri bernama Portugal. Kaptennya bernama Don Thomas dan Don Davis. Mereka membawakan surat dari saudara Baginda, Raja negeri mereka. Mereka memohonkan perkenanan Baginda Tuanku untuk dapat menghadap mempersembahkan surat itu dan segala hadiah-hadiah yang mereka bawa untuk Baginda.” Ujar Syahbandar.
“Sesungguhnya telah kudengar tentang negeri Portugal ini dalam kitab-kitab sejarah. Mereka merupakan pelaut yang handal dan pedagang yang ulung. Tapi belum pernah kulihat rupa dari orang-orang negeri ini. Syahbandar, pergilah kau esok pagi dengan membawa Kris Seri Nilam Ratna, katakan pada kapten kapal untuk menghadap ke Istana tiga hari lagi, bawalah serta Gajah Ringga Tinggi seperti ketika kita mengalukan ketibaan segala kapten asing.”
“Titah perintah Baginda, patik junjung di atas kepala patik, ampun beribu ampun sembah patik mohon di ampun.” Maka Syahbandar pun mundur.
Lalu Sultan menerima laporan-laporan lain dari tiap-tiap Orang Kaya. Semua laporan itu membuat hati Sultan Alaudin Ri’ayat Syah tenang. Negerinya aman dan rakyatnya sejahtera. Mereka mencintai Sultan sepenuh hatinya. Negeri-negeri taklukan juga menghormatinya, serta para tetangganya menaruh segan kepada kerajaan yang telah dibesarkannya.
***
Tiga hari berlalu sejak para Orang Kaya datang menghadap. Syahbandar Kuala Aceh yang dititah oleh Sultan untuk menjemput kedatangan kapten Portugal itu telah tiba di pelabuhan dengan segala kebesaran penyambutan kapten asing, sesuai adat negeri. Maka Don Thomas dan Don Davis pun dibawa masing-masing mengendarai Gajah. Ia sendiri naik Gajah bernama Ringga Tinggi di paling depan dengan membawa surat Raja Portugal di atas talam perak yang ditutup kain sutra kuning. Kedatangan kapiten asing selalu menarik perhatian rakyat yang langsung berkerumun ingin melihat.
Setibanya mereka di istana, mereka turun dari gajahnya, dan masuk dengan berjalan kaki melalui medan khayali, dan medan khairani sampai tiba di Bale Singgasana. Mereka melepaskan alas kakinya, sebelum melangkah masuk. Betapa takjubnya mereka akan keindahan ruangan itu. Di hadapan Sultan mereka berlutut sesuai adat kebiasaan negeri mereka dan membuka topinya sebagai tanda hormat.
Syahbandar kemudian menyerahkan surat dari Raja Portugal kepada Kereukon Katibul Mulk, juru bahasa Sultan. Oleh juru bahasa itu, surat Raja Portugal diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, yang intinya Raja Portugal meminta kepada Sultan agar berkenan memberikan Benteng Kota Biram kepada Portugis, untuk digunakan sebagai gudang barang dagangannya. Alasannya adalah jika barang dagangan mereka disimpan di kota, mereka khawatir akan ancaman kebakaran yang sering terjadi di Kutaraja.
Lalu Don Thomas berkata,
“Baginda Yang Maha Mulia, patik pun membawa hadiah yang dititipkan oleh saudara Tuanku yang bertahta di Portugal, yaitu berbagai perhiasan, senjata dan dua kuda cepat Portugis yang tiada taranya.”
Mendengar hal itu, Sultan yang gemar akan kuda menjadi tertarik. Lalu ia bertanya,
“Apakah istimewanya kuda Portugis itu? Kami telah memiliki kuda-kuda yang perkasa yang datangnya dari Turki dan Mekkah.”
“Saudara Baginda Yang Maha Mulia berpesan kepada patik, apa bila Baginda berkenan, agar kiranya Baginda memperlombakan kuda Portugis ini dengan kuda yang Baginda miliki.”
Sultan mengizinkan Don Thomas untuk membawa kuda itu ke Medan Khayali yang luas. Kemudian Sultan diiringi para pembesarnya yang hadir berangkat menuju Medan Khayali. Tempat duduk bagi Sultan telah disediakan di atas sebuah balai bernama Bale Bunga Setangkai, yang beratapkan perak seperti sisik naga yang berkilauan terkena cahaya matahari.
Tak berapa lama, Don Thomas datang membawa kuda Portugis-nya. Sepintas kuda itu tampak biasa saja. Hanya saja lebih besar dari kuda-kuda Arab. Pelananya indah, dan tali kekangnya dihiasi batu permata. Lalu ia berkata,
“Wahai orang Portugis, inikah kuda yang kau katakan dapat menandingi kuda-kudaku?”
Don Thomas menjawab,
“Betul Baginda.”
Lalu Sultan menyuruh Penghulu Kuda yaitu ketua bagian yang mengurusi kuda-kuda diraja, dan terkenal sebagai pengendara kuda ulung, untuk membawa kuda Istambul yang diperolehnya sebagai hadiah dari Sultan Muhammad II dari Turki. Diperintahkannya Penghulu Kuda berlomba dengan penunggang kuda dari Portugis. Atas aba-abanya, maka kedua kuda pun mulai berlari.
Pertama-tama keduanya tampak seimbang. Namun tiba-tiba kuda Portugis itu lari sangat cepat meninggalkan kuda Istambul 7 depa jauhnya. Penghulu Kuda berusaha mengejar, namun Kuda Portugis itu terlalu cepat, semakin jauh meninggalkannya, dan akhirnya berhenti di hadapan Bale Bunga Setangkai. Air muka Sultan pun berubahlah. Lalu Don Thomas kembali menghadap.
“Sesungguhnya sudah Baginda lihat kecepatan dari kuda ini. Kuda ini memang tiada tandingannya. Oleh karena Saudara Baginda di Portugis itu amat menginginkan benteng yang ada di Kota Biram itu, serta mengetahui minat Baginda pada kuda-kuda yang baik, maka ia mempersembahkan kuda ini pada Baginda, agar Baginda gembira. Bilamana Baginda berkenan, maka penghulu kuda kami akan turut pula tinggal di samping Baginda, karena hanya dialah yang mampu menunggangi dan menjinakan kuda ini.” Katanya sopan.
Mendengar perkataan Don Davis, Penghulu Kuda menjadi marah. Ia pun menghadap.
“Ampun beribu ampun sembah patik mohon diampun, Baginda, memang betul kuda ini teramat cepat. Namun patik tidak percaya bahwa tidak ada orang lain yang dapat menungganginya. Kuda ini terlihat tak ada bedanya dengan kuda-kuda Jawa yang jinak.”
“Apakah kau mampu menunggangi kuda ini?” Tanya Sultan Alaudin.
“Jika Baginda memerintahkan patik, maka patik akan menungganginya.” Jawab Penghulu Kuda dengan tegas.
“Jikalau kau yakin, maka tunggangilah. Tetapi jika tidak, jangan kau tahu-tahukan dirimu yang dapat membuat malu muka kita di depan orang Portugis ini.” Kata Sultan lagi.
“Patik, yakin Baginda.”
Don Davis yang mengetahui isi pembicaraan dari juru bahasanya, kemudian berkata,
“Ampun Baginda, patik berani bertaruh bahwa tidak seorang pun yang ada di hadapan Baginda dapat menjinakan kuda ini. Jikalau ternyata ada, patik bersedia menunggangi sendiri kuda ini tanpa pelana.”
Sultan Alaudin memandang Penghulu Kuda, dahinya berkerut dan bertanya sekali lagi,
“Apakah kau betul-betul mampu?”
“Ampun Baginda, mohon Baginda jangan khawatir. Insyaallah patik mampu. Patik tidak akan mempermalukan Baginda dihadapan kedua orang ini.” Jawab Penghulu kuda seraya melemparkan pandangan penuh kesal kepada dua kapten Portugis itu.
Maka Sultan Alaudin pun merestui Penghulu Kuda untuk naik ke atas kuda portugis itu. Namun, baru juga ia naik, kuda portugis itu meringkik dan mulai bergoyang. Ditarik olehnya kedua tali kekangnya sekuat tenaga, dan kuda itu pun mengangkat kedua kaki depannya begitu tingginya, hingga Penghulu Kuda terjatuh dan pingsan. Melihat kejadian itu, Sultan Alaudin pun murka. Ia melemparkan cangkir keramik Cina yang digunakannya untuk minum, hingga pecah, lalu berkata dengan marah.
“Celakalah orang ini yang telah menorehkan aib pada wajahku di depan utusan Portugis. Sesungguhnya ia tak tahu apa yang dibicarakannya!”
Keadaan menjadi tegang Sultan kemudian berkata dengan kesal pada Raja Udhana Lela yang masih bersepupu dengannya.
“Lihatlah orang itu. Jikalau dia tidak mampu mengapa ia berkata mampu? Sekarang jadi malulah kita dihadapan utusan ini.” Sultan pun terduduk di kursinya. Kekesalan bercampur kekecewaan begitu jelas terlihat di wajah tuanya.
Raja Udhana lela kemudian menjawab,
“Ampun Baginda Syah Alam, memanglah ia telah mempermalukan kita. Namun, demikian patik yakin ini bukan berarti tidak ada seorang pun di negeri kita yang mampu menunggang kuda itu. Mohon kiranya Baginda jangan cemas.”
Sultan Alaudin memandang sepupunya itu, seakan member perintah untuk melanjutkan kata-katanya.
“Menurut patik, Paduka Cucunda Baginda yang bergelar Paduka Tun Pangkat Dharmawangsa akan mampu menjinakan kuda ini. Patik ingat melihat Paduka menari di atas kuda bernama Gajah Liar yang baru ditaklukannya.”
Sultan Alaudin menjadi ragu,
“Apakah kau yakin Paduka Dharmawangsa mampu menjinakannya, atau kah kau hanya bergurau menghiburku?”
“Ampun Baginda, apa yang patik katakan adalah benar.”
Maka Sultan Alaudin menyuruh orang menjemput cucunya dari dalam. Tak berapa lama, datanglah seorang anak lelaki berusia 10 tahun. Tubuhnya cukup tinggi untuk anak seusianya dan bahunya tegap. Wajahnya tampan bersinar-sinar. Matanya hitam pekat dan pandangannya tajam seperti kakeknya. Kedua alisnya tebal seperti berkejar-kejaran. Hidungnya mancung seperti orang-orang dari negeri atas angin. Kulitnya tidak putih tetapi juga tidak hitam. Rambutnya hitam pekat and terurai sampai ke bahu. Ia mengenakan kain berwarna merah keemasan yang berkilau-kilau. Ikat pinggangnya dari emas dan batu rubi. Bajunya dari putih dengan sulaman benang emas. Hiasan kepalanya dari kain berbenang emas dan berhias mutiara yang besar-besar. Reuncongnya dari emas berhias batu delima. Dan pada alas kakinya dipasang batu permata aneka warna.
Paduka Dharmawangsa pun menghadap kakeknya dengan takzim. Lalu Sultan berkata,
“Duhai cucuku Dharmawangsa, maukah Tuan menaiki kuda itu dan menjinakannya, supaya terhapus rasa malu kita?”
Dijawab dengan lantang oleh Paduka Dharmawangsa,
“Kakeku, Syah Alam, jika dengan karunia Allah ta’ala serta dengan titah Baginda, maka patik akan menaiki kuda itu, Insyaallah Allah akan membantu patik menghapus rasa malu Baginda pada utusan Portugis ini.”
Sultan Alaudin terharu mendengar perkataan cucunya. Ia pun berdo’a kepada Allah untuk melindungi cucu kesayangannya itu. Tetapi Don Thomas menjadi khawatir dan kemudian berkata,
“Mohon ampun Baginda, kiranya tidaklah wajar jika Paduka Dharmawangsa yang masih teramat kecil ini menaiki kuda ini. Bila terjadi sesuatu pada Paduka, patik tidak dapat mempertanggung jawabkannya pada Baginda Yang Maha Mulia.”
Sultan Alaudin pun berseru,
“Wahai Don Thomas, kiranya tak perlu kau banyak bicara. Serahkanlah kuda itu pada Paduka Dharmawangsa, dan kuserahkan cucuku itu pada Allah ta’aala. Aku tidak akan meminta pertanggung jawaban apa pun darimu.”
Karena sudah diberi perintah oleh Sultan, maka Don Thomas pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia lalu mengiring Paduka Dharmawangsa menghampiri kuda Portugis itu. Namun sebelum naik, Paduka Dharmawangsa memerintahkan orang untuk mencopot pelana kuda itu. Katanya, jika kuda berpelana, perempuan paling lemah sekali pun dapat menungganginya. Maka dilepaslah pelana kuda itu. Ia kemudian meminta penghulu kuda yang dari Portugis itu untuk menaiki kuda Portugis yang satu lagi. Katanya, bila ia sudah mampu menjinakannya, kiranya dapat diadu siapakah yang lebih mahir menunggang kuda, dirinya atau penghulu kuda itu. Ia pun lalu melompat ke atas kudanya.
Seketika kuda itu memberontak. Bergoyang-goyang tak mau diam. Paduka Dharmawangsa berusaha menarik tali kekang dan menguasai keadaan. Cahaya matahari yang bersinar terang membuat Paduka Dharmawangsa berkilau-kilau. Intan permata pada pakaiannya memantulkan sinar matahari ke bebatuan disekitar Medan Khayali, sehingga batu tersebut seakan-akan berkilau seperti permata. Paduka Dharmawangsa terus menerus mengikuti geliat kuda Portugis itu. Lalu dengan sekali gretakan, maka ia berhasil memacu kuda itu untuk berlari. Penghulu kuda Portugis pun memacu kudanya mengejar Paduka Dharmawangsa. Terjadilah sebuah balapan kuda yang amat seru. Lalu tanpa di duga-duga Paduka Dharmawangsa mencabut pedangnya, dan menghunus-hunuskannya, berputar-putar seakan-akan sedang menari dengan pedang.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu berdecak kagum atas kelakuan Paduka Dharmawangsa. Salah seorang dari mereka bernama Syarif Kasim, berkata pada Sultan Alaudin,
“Tuanku Baginda Sultan, patik telah melihat tanda-tanda kebesaran pada diri Paduka Dharmawangsa ini. Jikalau Allah Ta’ala melanjutkan usia Paduka, kelak Paduka inilah yang akan menaklukan segala negeri-negeri Melayu, menggabungkan negeri Masyrik dan Maghrib, dan membawahi beribu-ribu raja di bawah istananya. Jika ia mengendarai kuda, maka atas karunia Allah Ta’ala, ia seperti singga yang tidak ada lawannya. Dan Paduka inilah yang akan menjadi matahari Aceh Darussalam ini. Kiranya Baginda berikanlah gelar Perkasa Alam kepadanya.”
Mendengar perkataan Syarif kasim, Sultan Alaudin teringat akan ramalan ahli nujum dari Persia dulu. Hati Sultan Alaudin Ri’ayat Syah pun menjadi gembira. Ketika itu, Paduka Dharmawangsa telah tiba di hadapan Bale Bunga Setangkai membawa kemenangan. Sultan Alaudin turun dari peresemayamannya menyambut cucu kesayangannya itu. Diciumnya cucunya dan dianugerahkan kepadanya sebuah kipas dari emas berpermata sebagai hadiah. Lalu dipanggil oleh Sultan Don Davis, menagih janji taruhannya. Dengan rasa malu, Don Davis menaiki kuda itu tanpa pelana. Seketika itu pula ia terjatuh dan pingsan. Kemudian Sultan memerintahkan tabib kerajaan untuk mengobati luka Don Davis.
Kemudian Sultan Alaudin bersama Paduka Dharmawangsa dan segala rombongannya kembali ke Istana. Disuruh olehnya panggilkan puteri kesayangannya, ibu dari Paduka Dharmawangsa itu. Tak berapa lama datanglah Paduka Putri Raja Indera Bangsa. Sang putri memakai kain panjang berwarna jingga berhias permata, pakaiannya bersulam kasab dan ratna mutu manikam, kalungnya dari emas yang amat berat, subangnya sebesar telur merpati. Rambutnya hitam tertutup sunting-sunting emas berpermata, dan di balut kerudung panjang hingga menyentuh lantai. Pada kesepuluh jari tangannya terdapat cincin emas dengan intan beraneka jenis. Pada kakinya dipasang gelang-gelang besar yang berbunyi jika ia berjalan. Seketika seluruh yang hadir menundukan wajah, karena tak sanggup menatap kecantikan Putri Raja Indra Bangsa. Hanya kedua utusan yang terpukau karena baru pertama kali melihat seorang putri Kerajaan Aceh yang biasanya tersembunyi di bagian terdalam istana Darud Dunia.
Diceritakanlah oleh Sultan Alaudin akan kejadian yang baru saja terjadi di medan khayali. Selain itu, Sultan Alaudin menceritakan tentang apa yang didengarnya dari Syarif Kasim. Putri Raja Indra Bangsa sangat gembira mendengar cerita ayahnya. Ia mengucapkan puji-pujian kepada Allah Ta’ala sambil memandang putra semata wayangnya.
Sultan lalu berkata kepada Don Thomas dan segala utusan dari Portugis itu.
“Wahai orang Portugis, sungguh aku bersuka cita atas hadiah yang diberikan oleh saudaraku di Portugal. Namun ketahuilah bahwa Benteng Kota Biram itu adalah bentengku yang mengawal Kuala Aceh. Katakan kepada saudaraku yang maha mulia itu, sekiranya ia meminta bentengku yang lain, maka saat ini juga akan aku berikan.”
Don Thomas dan Don Davis pun menerima hadiah kehormatan berupa persalinan, yaitu sebuah jubah putih bersulam emas, ikat pinggang dari emas, dan tutup kepala bersulam emas. Mereka pun diberikan sebuah tempat tinggal di kota bernama Bandar Ma’mur, dan diizinkan untuk berdagang di pasar Aceh. Kemudian Sultan melanjutkan,
“Wahai sekalian orang! Ketahuilah oleh kalian betapa bersuka citanya hatiku atas kelakuan cucuku ini. Oleh karena ia telah menunjukan keperkasaannya di hadapan wajahku, serta menghapuskan malu kita terhadap utusan Portugis ini, maka dengan ini kuumumkan pada kalian semua bahwa mulai saat ini aku menganugerahka ia dengan gelar  Paduka Tun Pangkat Perkasa Alam. Semoga Allah Ta’ala melindunginya dan kerajaannya.”
***

5 komentar:

  1. simple words yet rich story, complexity of deep history but serve in interesting ways..
    Suggestion, need extra explanation for traditional symbol/words.
    Recommendation, need to be printed! :)
    Good job!

    BalasHapus
  2. wow....banda, ada hubungan apakah dirimu dng sang iskandar muda? lo mo bikin novel tentang dia ya....bagus juga tuh kalo iya

    BalasHapus
  3. pengennya sih gitu ra.. ya coba2lah.. mohon bimbingannya sempay... =)

    BalasHapus
  4. woohoo,yang ini nuansa kerajaan Aceh nya lebih dapet Ban. Tapi gw setuju juga sama Patria, mungkin bisa dibuat glossary untuk istilah-istilah Aceh nya. dibikin di Iskandar Muda Trivia itu mungkin, Ban?

    BalasHapus
  5. alami banget kisahnya, ditunggu lanjutannya.

    BalasHapus